BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Dari
berbagai bahasa, bahasa Bali mungkin merupakan salah satu bahasa yang memiliki
kata penunjuk arah (mata angin) yang memiliki perilaku yang unik bila dilihat
secara linguistis, khususnya dari aspek morfologis dan sintaktis. Hanya kata-kata
penunjuk arah inilah yang bisa dikenai proses morfologis dan sintaktis tertentu,
dan proses itu tidak pernah atau jarang sekali dapat dikenakan pada kata-kata yang
lain. Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan keunikan-keunikan itu, dan
berusaha mencari penjelasan mengapa keunikan itu bisa terjadi.
Dalam
bahasa Bali, empat kata penunjuk arah yang utama diungkapkan dengan satuan
lingual kangin timur , kauh barat , kaja selatan , dan kelod
utara . Secara etimologis kata kelod berasal dari ke laut lewat
proses persandian (au>O) dan korespondensi /t/ dan /d/ dan pengubahan fungsi
preposisi ke menjadi suku awal . Hilangnya sifat kontras antara /t/ dan
/d/dalam hal ini disebut dengan netralisasi (Martinet, 1987, 85; Verhaar, 1996,
85). Oleh karenanya, tidak mengherankan bila orang orang Bali menyebut tempat
yang mengarah atau menuju ke laut dengan kelod walaupun secara geografis
tempat-tempat itu berada di barat, selatan, atau timur. Orang Bali sering
mengatakan Engken pasihe ento kelode Mana lautnya di sanalah kelod .
Kata lod dalam hal ini agaknya secara diakronis berkorespondensi dengan
kata lor dalam bahasa Jawa yang bermakna utara hanya saja kemudian
terjadi perubahan dalam bahasa Bali menjadi tempat yang menuju ke laut . Dengan
kontrusksi itu kata-kata penunjuk arah merupakan kata-kata yang sangat tinggi
frekuensi pemakaiannya karena begitu dekat hubungannya dengan kehidupan orang
Bali. Misalnya dalam dikotomi budaya Bali kaja adalah gunung sebagai
pusat kemakmuran dan kesuburan. Kelod adalah tempat yang menuju laut. Kangin
adalah tempat matahari terbit, dan kauh adalah tempat matahari
tenggelam. Dekatnya hubungan arah dan kehidupan manusia inilah yang menyebabkan
kata-kata ini memiliki perlakuan linguistik tertentu di dalam pemakiannya. Hal
ini agaknya belum pernah mendapatkan perhatian dari ahli-ahli bahasa yang
bergelut dengan bahasa Bali. Dalam tulisan ini ditemukan dua buah proses
linguistik yang khas dialami oleh kata-kata penunjuk arah ini, yakni kontraksi
preposisi di dan pembubuhan afiks be- yang secara berturut-turut diuraikan
dalam 2 dan 3.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimanakah
Kontraksi preposisi “di”?
b. Bagaimanakah
Prefiksasi be-?
1.3
TUJUAN
a. Untuk
mengetahui Kontraksi preposisi “di”
b. untuk mengetahui Prefiksasi be-
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Kontraksi preposisi “di”
Perubahan
bunyi yang terjadi di dalam bahasa tidak hanya terjadi dalam tataran Leksikon,
tetapi mungkin pula ditemukan dalam tataran yang lebih tinggi, seperti frasa
dan kalimat (Pastika, 2004a, 1; 2004b, 52). Kontraksi di yang melekat
pada kata-kata penunjuk arah yang akan dibicarakan berikut ini pada hakikatnya merupakan
perubahan bunyi pada tataran frase.
Kontraksi
adalah proses peringkasan leksem dasar atau gabungan leksem, seperti tidak menjadi
tak, tidak ada menjadi tiada, dsb. (Kridalaksana 1993,
121). Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Crystal
(1978, 89) yang mengemukakan bahwa kontraksi adalah:
The process or result
of phonologically reducing a linguistic form so that it comes to be attached to
an adjacent linguistic form or fusing a sequence of forms so that they appear
as a single form.
Dengan
terjadinya kontraksi secara diakronis maka semua kata-kata penunjuk arah angin
dalam bahasa Bali berawal dengan bunyi /k/, yakni kangin, kauh, kaja, dan
kelod. Kata kaja, kelod, kangin, dan kauh adalah nomina
yang bila digunakan untuk menunjuk tempat tertentu harus mengambil bentuk yang
lain, yakni dangin, dauh, daja, dan delod. Bila tidak maka kata kangin
hanya dapat digunakan sebagai nomina biasa, seperti dalam ungkapan Tusing
nawang kaja kelod tidak tahu selatan dan utara atau Tusing nawang kangin
kauh Tidak tahu timur dan barat . Adapun kalau arah itu menunjuk tempat
akan digunakan seperti berikut ini:
(1)
Dajan rurung-e ada anak
ng-adep kembungan
Di selatan jalan-nya kl ada orang
jual trans balon
‘Di selatan jalan ada orang yang
menjual balon’
(2)
I Belog ulung di delod
pangkung-e
Art. Belog ND jatuh di utara jurang
kl
I Belog jatuh di sebelah utara
jurang
(3)
Dauh tukade tusing ada
yeh.
Utara sungai tidak ada air
Di utara sungai tidak ada air
(4)
Dangin tiange umah-ne.
Timur saya kl rumah pos.
Di sebelah timur rumah saya
rumahnya
3. Prefiksasi
be-
Dalam
buku-buku tata bahasa bahasa Bali agaknya jarang sekali atau mungkin tidak ada
yang membicarakan afisk be-. Dengan kata lain afiks-afiks ini dianggap tidak
ada dalam bahasa Bali. Akan tetapi, secara sinkronis jelas sekali bahwa di dalam
bahasa Bali ada kata-kata bedauh jauh di barat , bedelod jauh di utara,
bedaja jauh di selatan , bedangin jauh di timur . Dengan demikian, dicurigai
ada proses morfologis seperti di bawah ini:
be- + dauh > bedauh
be- + delod > bedelod
be- + daja > bedaja
be- + dangin > bedangin
Adapun
pemakaiannya dapat dilihat dalam (14), (15), (16), dan (17) di bawah ini:
(5) + Dija ada balih-balihan?
Di mana KT ada tontonan
Di mana ada tontonan?
- Ditu bedaja.
Di sana di selatan
Di sana di selatan
(6) Bedangin tusing ada apa-apa.
di timur tidak Neg ada apa-apa
Di timur tidak ada apa-apa
(7) Ada apa bedauh?
ada apa KT di barat
Ada apa di barat?
(8) Umah-ne bedelod, tusing dini.
Rumah-nya pos di utara, bukan Neg.
di sini
Rumahnya di utara, bukan di sini
Afiks
be- yang melekat pada keempat kata penunjuk arah itu bermakna gramatikal
tempat yang jauh dari pembicara.Bila orang Bali ingin menunjuk tempat yang
dipandang tidak terlalu jauh, maka ia akan menggunakan klitika ne. Kata-kata
penunjuk arah yang berklitika ne ini dapat didahului dengan kata dini ‘di
sini’.
(9)
+ Lakar kija, Beli?
mau
ke mana KT, Kakak
Mau
pergi ke mana, kakak?
-
Dini, dauh-ne jep.
di
sini di barat Kl sebentar
Di
sini di barat sebentar
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Proses
linguistik apapun jenisnya yang terdapat di dalam bahasa bahasa ternyata tidak
terjadi pada sembarang bentuk kebahasaan, dan dapat dikenakan secara analogis
pada bentuk-bentuk serupa yang lain. Untuk ini diperlukan syarat yang lain,
yakni bentuk itu lazimnya memiliki ciri tertentu dan mempunyai frekuensi
pemakaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin secara kultural begitu dekat atau
penting hubungannya dengan kehidupan masyarakatnya.
Untuk
mencapai penjelasan yang memuaskan analisis sinkronis pada saat-saat tertentu
membutuhkan penjelasan yang bersifat diakronis. Hal ini agaknya berkaitan
dengan prinsip uniformasi yang dikemukakan oleh Bell (1976, 187-191; periksa
juga Wardaugh, 1988, 18) yang mengemukakan bahwa: The linguistic process
which we observe to be taking place around us are the same as those which have
operated in the past, so that there can be no clean break between synchronic
matters and diachronic ones. Dalam hubungannya dengan kontraksi di dalam
bahasa Bali semakin jelas bahwa batas-batas tataran linguistik, leksikon, fonologi,
morfologi, dan sintaksis semakin tidak jelas (kabur).
Di
dalam bahasa terdapat morfem-morfem yang bergabung dengan satu satuan tertentu
saja yang disebut dengan morfem unik (Ramlan, 1987, 82), ada morfem yang dapat
bergabung dengan berbagai jenis morfem, dan dalam kaitannya dengan afiks be-
dalam bahasa Bali, morfem ini hanya bergabung dengan morfem dasar penunjuk
arah yang bila konsep keunikan ini diperluas, yakni dapat pula diterapkan untuk
morfem terikat, maka be- dalam bahasa bali disebut sebagai morfem
semiunik.
DAFTAR
PUSTAKA
Depdikbud. 1993a. Kurikulum Pendidikan Dasar. Landasan Program dan Pengembangan. Jakarta.
Depdikbud. 1993b. Kurikulum Pendidikan Dasar. GBPP SD Mata Pelajaran Bahasa Bali. Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar