BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATARBELAKANG
Makalah
ini akan menguraikan pokok-pokok bahasan yang terkait dengan kebutuhan pembelajaran
bahasa Bali siswa SD kelas I sampai dengan kelas VI di daerah Tingkat I
Provinsi Bali berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga kabupaten
dan satu pemerintahan kota di Bali. Pembahasan mengenai pemerolehan bahasa I
dan II mengawali makalah ini mengingat posisi bahasa Bali saat ini bisa sebagai
bahasa I dan II. Ketidakpahaman seseorang terhadap bahasa Bali sangat erat
kaitannya dengan apakah sebuah bahasa diperoleh sebagai bahasa I atau II
(dengan kata lain bagaimanakah suatu bahasa diperoleh), dan tampaknya posisi
bahasa Bali di Bali saat ini pada beberapa ranah pemakaian bahasa Bali diambil
alih oleh bahasa Indonesia (Arnati 1996). Menurut Richard dkk. (1985:3),
proses seseorang dalam mempelajari suatu bahasa disebut dengan istilah
pemerolehan bahasa, bukan pembelajaran bahasa. Istilah
pemerolehan bahasa berkembang karena adanya kepercayaan para ahli bahasa bahwa perkembangan
sebuah bahasa pertama pada seorang anak merupakan suatu proses khusus. Pendapat
Richard dkk tampaknya sejalan dengan Chomsky yang menyatakan bahwa:
1. anak-anak
lahir dengan kemampuan khusus dalam pembelajaran bahasa,
2. mereka
tidak harus dipaksa untuk belajar bahasa atau memperbaiki kesalahankesalahan mereka,
3. mereka
belajar bahasa dengan menjelaskan secara rinci (membedah) hal-hal yang terkait
dengan bahasa tersebut, dan
4. kaidah-kaidah
bahasa berkembang secara tidak disadari.
Seorang
anak dikatakan memperoleh kaidah bahasa ibu mereka apabila mereka mampu membedah
bahasa tersebut dengan cara member contoh-contoh, dan menggunakan bahasa itu
untuk berkomunikasi.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan para guru SD di desa dan di kota, dengan para budayawan dan
pemerhati bahasa, secara umum anak-anak di perkotaan berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi
karena mereka belum mampu berbahasa Bali. Ini menunjukkan bahwa bahasa pertama
mereka adalah bahasa Indonesia. Pada masyarakat pedesaan adalah sebaliknya,
bahasa Bali merupakan bahasa pertama mereka. Dalam konteks seperti ini bahasa
Bali di Bali adalah sebagai bahasa pertama di satu sisi dan sebagai bahasa
kedua di sisi lain. Dalam kenyataan, pemerolehan bahasa I sangat berbeda dengan
bahasa II, baik ditinjau dari karakteristik pribadi maupun kondisi dalam
mempelajari suatu bahasa. Oleh sebab itu, hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian,
khususnya untuk menyamakan persepsi dalam rangka pembelajaran bahasa Bali, baik
untuk pengembangan maupun untuk pelestarian bahasa Bali. Berikut disajikan
ciri-ciri seorang anak yang belajar bahasa I dan kondisi pembelajarannya.
Ciri-ciri
pembelajaran bahasa I:
1. Seorang
anak yang mempelajari suatu bahasa sebagai bahasa I tidak memiliki cognitive
maturity (yaitu kemampuan untuk ikut serta memecahkan suatu masalah deduksi
dan yang terkait dengan memori kompleks). Di samping itu, mereka tidak memiliki
kesadaran metabahasa, yaitu suatu kemampuan untuk memperlakukan bahasa sebagai bahasa
sebuah objek, dan
2. Pengetahuan
tentang bahasa-bahasa lain dapat mengantarkan pembelajaran untuk membuat
terkaan yang tidak benar tentang bagaimana kedua bahasa tersebut berinteraksi,
dan ini dapat memungkinkan terjadinya penyimpangan (error) yang semestinya
tidak perlu dibuat oleh pembelajar bahasa I.
Kondisi
pembelajaran bahasa I:
1. Pembenaran
penyimpangan cenderung terbatas pada perbaikan makna termasuk di dalamnya
penyimpangan dalam pemilihan kosakata. Akan tetapi, untuk pemerolehan bahasa II
kondisi seperti ini tidak terjadi sebab secara formal penyimpangan tidak
berpengaruh terhadap makna, namun ini sering diperhatikan secara berlebihan. Penyimpangan
terhadap tata bahasa, ucapan (pelafalan) jarang terjadi;
2. Kondisi
yang tampaknya umum terjadi di dalam pemerolehan bahasa I dan II adalah akses
terhadap masukan yang termodifikasi;
3. Anak-anak
yang memperoleh kondisi pembelajaran bahasa yang baik di rumah menerima
langsung umpan balik, sedangkan kondisi seperti ini sulit dilaksanakan dengan
segera.
Di
samping itu, bahasa I umumnya diperoleh secara normal di dalam lingkungan keluarga
(rumah) tanpa intervensi pedagogik, sedangkan bahasa II diperoleh melalui
lingkungan sekolah di bawah penguasaan langsung seorang guru. Bahasa II
mengizinkan pembangunan sebuah teori atas bahasa II dalam kaitannya dengan bahasa
I tanpa melewati tahapan pemerolehan bahasa I.
Berdasarkan
uraian di atas, penelitian ini akan mengidentifikasi kebutuhan belajar bahasa Bali
untuk siswa SD yang meliputi (1) pengukuran terhadap kemampuan berbahasa Bali,
(2) tujuan belajar bahasa Bali, (3) latar penggunaan bahasa Bali, (4) interaksi
dalam komunikasi, (5) ragam bahasa bali dan tingkat penguasaan berbahasa dan, (6)
peristiwa komunikasi. Keenam materi tersebut akan diuraikan secara rinci
berikut ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimanakah kemampuan
berbahasa Bali??
1.3 TUJUAN
a.
untuk mengetahui kemampuan berbahasa
Bali
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kemampuan Berbahasa Bali
Menurut
Chomsky (1965), kemampuan adalah pengetahuan tentang penguasaan bahasa
seseorang yang umum disebut dengan istilah linguistic competence, yaitu
kemampuan dalam menggunakan bahasa secara memadai apabila dilihat dari sistem
bahasa. Dalam studi ini kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk menggunakan
bahasa untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan dalam
konteks sosial sehingga dapat dimengerti (diterima) karena sudah sesuai dengan
fungsi-fungsi bahasa dalam komunikasi, karena sudah sesuai dengan latar penggunaan
bahasa, karakteristik penutur, peristiwa tutur, pelibat dalam tuturan, saluran komunikasi,
dan situasi sosial-emosional tuturan. Ada tiga jenis kemampuan berbahasa Bali
yang diukur dalam penelitian ini, yaitu (1) kemampuan berbahasa Bali lisan, (2)
kemampuan berbahasa Bali sesuai dengan aras-tutur, dan (3) kemampuan berbahasa
Bali tulis, baik dengan huruf Latin maupun huruf Bali.
a.
Kemampuan Menggunakan
Bahasa Bali Lisan
Seorang
anak akan memperoleh bahasaMlisan terlebih dahulu sebab pada hakikatnya bahasa adalah
bahasa lisan, diikuti oleh kemampuan berbahasa tulis. Bahasa dianggap sebagai
gejala sosial, yaitu sebagai produk kehidupan manusia dalam masyarakat.
Kemampuan berbahasa lisan siswa SD kelas I—VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
sangat beraneka ragam, baik mereka yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan.
Dari
pengamatan secara mendalam terhadap anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa
Bali lisan pada kelompok nihil khususnya pada masyarakat pedesaan, mereka tampaknya
hanya memiliki pemahaman secara pasif. Ini artinya bahwa apabila ayah dan ibu atau
guru mereka berbahasa Bali, mereka dapat memahaminya, namun tidak dapat menggunakannya
secara verbal, serta semua respon atas pertanyaan yang diberikan kepada mereka
akan selalu dijawab dengan bahasa Indonesia.
Ini
sangat berbeda dengan siswa yang tergolong pada kelompok nihil di perkotaan: mereka
sama sekali tidak mengerti bahasa Bali. Hasil penelitian ini mengisyaratkan
bahwa bahasa I yang mereka peroleh adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Bali
baru dipelajari di sekolah, bukan dari lingkungan keluarga yang semestinya merupakan
komunitas kecil untuk mengawali pelestarian bahasa daerah, khususnya dengan mengajarkan
bahasa Bali di rumah tangga.
Pada
masyarakat pedesaan, terdapat peningkatan kemampuan berbahasa lisan yang sangat
tajam. Akan tetapi, pada masyarakat perkotaan peningkatan kemampuan berbahasa lisan
adalah tidak seperti pada masyarakat pedesaan. Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan
bahasa Bali di rumah sangat kurang pada masyarakat perkotaan dibandingkan
dengan masyarakat pedesaan. Di samping itu, kemampuan pemahaman berbahasa Bali
lisan siswa SD pada masyarakat pedesaan dan perkotaan belum disertai oleh
penggunaan aras-tutur (unda-usuk) yang cukup memadai. Aras-tutur adalah ragam
yang merupakan ciri khas bahasa Bali, dan kemampuan penggunaan aras-tutur
dibahas secara rinci berikut ini.
b.
Kemampuan Menggunakan
Bahasa Bali Sesuai dengan Aras-Tutur
Menurut
statistik (1997), penduduk Bali saat ini berjumlah 2.906.582 jiwa, yang terdiri
atas laki-laki 1.446.822 dan perempuan 1.459.760. Sekitar 10% dari seluruh
penduduk saat ini adalah dari kalangan Triwangsa dan selebihnya dari kalangan
kebanyakan (sudra). Masyarakat Bali terdiri atas dua kelompok masyarakat: (1) kelompok
non-Triwangsa menduduki jumlah banyak sehingga sering disebut pula sebagai kalangan
kebanyakan; dan (2) kelompok Triwangsa terdiri atas Brahmana, Ksatria, dan Wesya.
Tingkatan-tingkatan masyarakat Bali seperti ini memunculkan aras-tutur bahasa
Bali, seperti bentuk hormat dan lepas hormat (Bagus, 1976:109; Tinggen, 1995).
Penelitian
ini menunjukkan bahwa siswa SD di Bali, baik di desa maupun di kota belum memiliki
kemampuan penggunaan aras-tutur yang cukup memadai. Salah satu faktor penyebab tingkat
kemampuan penggunaan aras-tutur yang belum memadai adalah karena rumit (‘sulit’)
penggunaannya, dan siswa SD belum mampu untuk memahaminya; dengan berbahasa
Indonesia tampaknya lebih mudah dan netral tanpa harus mengetahui pelibat dalam
suatu peristiwa komunikasi berasal dari kelompok yang mana. Di samping itu,
tampaknya sejauh ini belum tersedia materi yang khusus terkait dengan
pengajaran aras tutur bahasa Bali.
Secara
umum, siswa SD di desa dari kelas III sampai dengan kelas VI belum menguasai penggunaan
aras-tutur dengan cukup baik. Berdasarkan pengamatan pada saat pelaksanaan tes (pengisian
instrumen) yang dilakukan terhadap anak SD kelas I—VI, khususnya pada sekolah pedesaan,
para siswa tersebut sangat lambat di dalam menjawab semua pertanyaan yang berbahasa
Bali, apabila dibandingkan dengan siswa SD di kota. Apabila kemampuan siswa SD yang
berasal dari kalangan Triwangsa dibandingkan dengan mereka dari Sudra tampak jelas
bahwa siswa SD dari Triwangsa jauh lebih mampu menggunakan aras-tutur daripada
mereka dari kalangan non-Triwangsa. Anak-anak dari Triwangsa (khususnya Brahmana)
selalu berkomunikasi dengan nenek/kakek (apabila mereka adalah pendeta Hindu)
menggunakan bahasa Bali bentuk hormat. Di Bali, jarang ditemukan seorang
pendeta mau berkomunikasi dengan lawan tuturnya dengan bahasa lain, kecuali bahasa
Bali.
Pada
siswa SD di pedesaan dapat dipahami dengan jelas bahwa kemampuan menggunakan
aras-tutur semakin mantap setelah siswa SD berada di kelas IV ke atas. Siswa
kelas IV dan V yang menguasai aras-tutur dalam kategori lanjut adalah 75% untuk
kelas IV dan 87,5% pada kelas V. Setelah mereka di kelas VI, penguasaan
aras-tutur pada kategori lanjut menjadi 93,7%. Dari 75% siswa kelas IV yang
memiliki kemampuan dalam kategori lanjut 50% adalah wanita dan selebihnya 25%
adalah laki-laki. Demikian juga halnya untuk siswa kelas V: 47% wanita dan 40%
laki-laki, dan pada kelas VI: 50% wanita dan 43,7% laki-laki.
Secara
umum wanita dianggap selalu lebih rendah (subordinate) daripada pria.
Menurut Smith (1992:59), wanita memiliki sifat lemah lembut, tidak langsung,
dan kurang memiliki kekuasaan. Hal ini sudah mulai tampak jelas pada siswa SD,
baik di desa maupun di kota, sehingga penelitian ini mendukung pendapat Smith
bahwa wanita Bali memiliki status sosial lebih rendah daripada pria. Hal ini
berimplikasi terhadap penggunaan bahasa Bali siswa SD wanita; mereka berbahasa
Bali bentuk hormat lebih sering dan lebih terampil daripada laki-laki. Ini
mungkin dikarenakan wanita memiliki sifat halus, modest, pendiam
(reticence), sopan. Sifat seperti ini jarang ditemukan pada pria. Sifat yang dimiliki
oleh wanita tercermin melalui gaya atau tingkah laku berbahasa yang selalu
tampak sopan dan formal sehingga bahasa Bali wanita lebih baik daripada pria.
Untuk siswa SD kelas IV, wanita memiliki kemampuan penguasan aras-tutur 37,5%, sedangkan
prianya 18,7%. Di samping itu, siswa wanita cenderung menggunakan kalimat
kompleks pada ketiga ranah pemakaian bahasa. Temuan ini mendukung sifat formal
yang dimiliki wanita. Bahasa formal lebih lengkap, utuh, sesuai dengan kaidah
penggunaannya.
Kenyataan
ini sudah disadari para guru mereka, dan bahkan mereka mengalami kesulitan dalam
mengajar bahasa Bali. Kesulitan itu dirasakan makin bertambah berat karena
belum tersedianya materi pengajaran aras-tutur bahasa Bali yang sesuai sebagai
materi pelajaran untuk siswa SD di Bali. Walaupun Tinggen (1995) telah menulis
Sor Singgih Bahasa Bali, buku tersebut diperuntukan bagi siswa SLTP dan
SLTA. Di samping itu, guru bahasa Bali tidak memiliki kualifikasi dalam bidang
studi yang diajarkan. Semua guru bahasa Bali di SD adalah guru agama (kualifikasi/latar
belakang pendidikannya adalah agama Hindu), namun mereka diminta untuk mengajarkan
bahasa Bali.
BAB III
PENUTUP
3.
SIMPULAN
Beberapa
simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan
berbahasa Bali siswa SD di Provinsi Bali yang terdiri atas kemampuan berbahasa
lisan, unda-usuk, dan bahasa tulis adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan
merekam dalam berbahasa lisan sangat bervariasi, baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Siswa SD di pedesaan memiliki kemampuan berbahasa lisan lebih baik daripada mereka yang tinggal
di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di desa lebih
intensif daripada di kota;
b. Kemampuan
menggunakan unda-usuk siswa SD belum memadai. Menurut mereka, penggunaan
unda-usuk adalah rumit (’sulit’), serta belum tersedianya materi yang baik
untuk mengajarkan unda-usuk bahasa Bali di SD; dan
c. Kemampuan
berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin untuk siswa SD kelas I adalah nihil,
kelas II dan III pemula, kelas IV menengah, serta untuk kelas V dan VI lanjut.
Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan dengan huruf Bali sangat rendah sebab
sampai dengan kelas VI mereka belum menguasai dengan baik Pasang Sastra
Aksara Bali (tata cara penulisan huruf Bali). Menurut pengakuan guru, mereka
hanya menggunakan buku acuan yang sifatnya masih umum, dan belum berisikan
aturan yang pasti tentang tata cara penulisan huruf Bali.
DAFTAR
PUSTAKA
Dinas
Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali. 1975. Kurikulum Sekolah Dasar
1975 Garis-Garis Besar Program Pengajaran Bidang Studi Bahasa
Bali Untuk Kelas III, IV, V, VI. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi
Daerah Tingkat I Bali.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. 1994. Lampiran II Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali Nomor 22/I 19
C/Kep/I.94 Tanggal 17 Januari 1994, Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Dasar,
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata Pelajaran:
Bahasa Daerah Bali. Denpasar:
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Bali. Anom, I Gusti Ketut,
dkk. 1983 Tatabahasa Bali. Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I
Bali.
Anom,
I Gusti Ketut, dkk. 1995. Kusumasari 1, 4, 5. Denpasar: Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Jackson County, NC
BalasHapusInformation, maps, photos, contact details 군산 출장안마 & phone number of Harrah's 충청북도 출장안마 Cherokee Casino & Hotel 수원 출장안마 in Jackson County, Address: 1 거제 출장안마 Riverboat Drive, 경주 출장샵 Cherokee, NC