Senin, 25 November 2013

KEMAMPUAN BERBAHASA BALI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATARBELAKANG
Makalah ini akan menguraikan pokok-pokok bahasan yang terkait dengan kebutuhan pembelajaran bahasa Bali siswa SD kelas I sampai dengan kelas VI di daerah Tingkat I Provinsi Bali berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga kabupaten dan satu pemerintahan kota di Bali. Pembahasan mengenai pemerolehan bahasa I dan II mengawali makalah ini mengingat posisi bahasa Bali saat ini bisa sebagai bahasa I dan II. Ketidakpahaman seseorang terhadap bahasa Bali sangat erat kaitannya dengan apakah sebuah bahasa diperoleh sebagai bahasa I atau II (dengan kata lain bagaimanakah suatu bahasa diperoleh), dan tampaknya posisi bahasa Bali di Bali saat ini pada beberapa ranah pemakaian bahasa Bali diambil alih oleh bahasa Indonesia (Arnati 1996). Menurut Richard dkk. (1985:3), proses seseorang dalam mempelajari suatu bahasa disebut dengan istilah pemerolehan bahasa, bukan pembelajaran bahasa. Istilah pemerolehan bahasa berkembang karena adanya kepercayaan para ahli bahasa bahwa perkembangan sebuah bahasa pertama pada seorang anak merupakan suatu proses khusus. Pendapat Richard dkk tampaknya sejalan dengan Chomsky yang menyatakan bahwa:
1.      anak-anak lahir dengan kemampuan khusus dalam pembelajaran bahasa,
2.      mereka tidak harus dipaksa untuk belajar bahasa atau memperbaiki kesalahankesalahan mereka,
3.      mereka belajar bahasa dengan menjelaskan secara rinci (membedah) hal-hal yang terkait dengan bahasa tersebut, dan
4.      kaidah-kaidah bahasa berkembang secara tidak disadari.
Seorang anak dikatakan memperoleh kaidah bahasa ibu mereka apabila mereka mampu membedah bahasa tersebut dengan cara member contoh-contoh, dan menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru SD di desa dan di kota, dengan para budayawan dan pemerhati bahasa, secara umum anak-anak di perkotaan berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi karena mereka belum mampu berbahasa Bali. Ini menunjukkan bahwa bahasa pertama mereka adalah bahasa Indonesia. Pada masyarakat pedesaan adalah sebaliknya, bahasa Bali merupakan bahasa pertama mereka. Dalam konteks seperti ini bahasa Bali di Bali adalah sebagai bahasa pertama di satu sisi dan sebagai bahasa kedua di sisi lain. Dalam kenyataan, pemerolehan bahasa I sangat berbeda dengan bahasa II, baik ditinjau dari karakteristik pribadi maupun kondisi dalam mempelajari suatu bahasa. Oleh sebab itu, hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian, khususnya untuk menyamakan persepsi dalam rangka pembelajaran bahasa Bali, baik untuk pengembangan maupun untuk pelestarian bahasa Bali. Berikut disajikan ciri-ciri seorang anak yang belajar bahasa I dan kondisi pembelajarannya.
Ciri-ciri pembelajaran bahasa I:
1.      Seorang anak yang mempelajari suatu bahasa sebagai bahasa I tidak memiliki cognitive maturity (yaitu kemampuan untuk ikut serta memecahkan suatu masalah deduksi dan yang terkait dengan memori kompleks). Di samping itu, mereka tidak memiliki kesadaran metabahasa, yaitu suatu kemampuan untuk memperlakukan bahasa sebagai bahasa sebuah objek, dan
2.      Pengetahuan tentang bahasa-bahasa lain dapat mengantarkan pembelajaran untuk membuat terkaan yang tidak benar tentang bagaimana kedua bahasa tersebut berinteraksi, dan ini dapat memungkinkan terjadinya penyimpangan (error) yang semestinya tidak perlu dibuat oleh pembelajar bahasa I.
Kondisi pembelajaran bahasa I:
1.      Pembenaran penyimpangan cenderung terbatas pada perbaikan makna termasuk di dalamnya penyimpangan dalam pemilihan kosakata. Akan tetapi, untuk pemerolehan bahasa II kondisi seperti ini tidak terjadi sebab secara formal penyimpangan tidak berpengaruh terhadap makna, namun ini sering diperhatikan secara berlebihan. Penyimpangan terhadap tata bahasa, ucapan (pelafalan) jarang terjadi;
2.      Kondisi yang tampaknya umum terjadi di dalam pemerolehan bahasa I dan II adalah akses terhadap masukan yang termodifikasi;
3.      Anak-anak yang memperoleh kondisi pembelajaran bahasa yang baik di rumah menerima langsung umpan balik, sedangkan kondisi seperti ini sulit dilaksanakan dengan segera.
Di samping itu, bahasa I umumnya diperoleh secara normal di dalam lingkungan keluarga (rumah) tanpa intervensi pedagogik, sedangkan bahasa II diperoleh melalui lingkungan sekolah di bawah penguasaan langsung seorang guru. Bahasa II mengizinkan pembangunan sebuah teori atas bahasa II dalam kaitannya dengan bahasa I tanpa melewati tahapan pemerolehan bahasa I.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengidentifikasi kebutuhan belajar bahasa Bali untuk siswa SD yang meliputi (1) pengukuran terhadap kemampuan berbahasa Bali, (2) tujuan belajar bahasa Bali, (3) latar penggunaan bahasa Bali, (4) interaksi dalam komunikasi, (5) ragam bahasa bali dan tingkat penguasaan berbahasa dan, (6) peristiwa komunikasi. Keenam materi tersebut akan diuraikan secara rinci berikut ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a.      Bagaimanakah kemampuan berbahasa Bali??
1.3 TUJUAN
a. untuk mengetahui kemampuan berbahasa Bali










BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kemampuan Berbahasa Bali
Menurut Chomsky (1965), kemampuan adalah pengetahuan tentang penguasaan bahasa seseorang yang umum disebut dengan istilah linguistic competence, yaitu kemampuan dalam menggunakan bahasa secara memadai apabila dilihat dari sistem bahasa. Dalam studi ini kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan dalam konteks sosial sehingga dapat dimengerti (diterima) karena sudah sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa dalam komunikasi, karena sudah sesuai dengan latar penggunaan bahasa, karakteristik penutur, peristiwa tutur, pelibat dalam tuturan, saluran komunikasi, dan situasi sosial-emosional tuturan. Ada tiga jenis kemampuan berbahasa Bali yang diukur dalam penelitian ini, yaitu (1) kemampuan berbahasa Bali lisan, (2) kemampuan berbahasa Bali sesuai dengan aras-tutur, dan (3) kemampuan berbahasa Bali tulis, baik dengan huruf Latin maupun huruf Bali.
a.      Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Lisan
Seorang anak akan memperoleh bahasaMlisan terlebih dahulu sebab pada hakikatnya bahasa adalah bahasa lisan, diikuti oleh kemampuan berbahasa tulis. Bahasa dianggap sebagai gejala sosial, yaitu sebagai produk kehidupan manusia dalam masyarakat. Kemampuan berbahasa lisan siswa SD kelas I—VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali sangat beraneka ragam, baik mereka yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan.
Dari pengamatan secara mendalam terhadap anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa Bali lisan pada kelompok nihil khususnya pada masyarakat pedesaan, mereka tampaknya hanya memiliki pemahaman secara pasif. Ini artinya bahwa apabila ayah dan ibu atau guru mereka berbahasa Bali, mereka dapat memahaminya, namun tidak dapat menggunakannya secara verbal, serta semua respon atas pertanyaan yang diberikan kepada mereka akan selalu dijawab dengan bahasa Indonesia.
Ini sangat berbeda dengan siswa yang tergolong pada kelompok nihil di perkotaan: mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Bali. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa bahasa I yang mereka peroleh adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Bali baru dipelajari di sekolah, bukan dari lingkungan keluarga yang semestinya merupakan komunitas kecil untuk mengawali pelestarian bahasa daerah, khususnya dengan mengajarkan bahasa Bali di rumah tangga.
Pada masyarakat pedesaan, terdapat peningkatan kemampuan berbahasa lisan yang sangat tajam. Akan tetapi, pada masyarakat perkotaan peningkatan kemampuan berbahasa lisan adalah tidak seperti pada masyarakat pedesaan. Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di rumah sangat kurang pada masyarakat perkotaan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Di samping itu, kemampuan pemahaman berbahasa Bali lisan siswa SD pada masyarakat pedesaan dan perkotaan belum disertai oleh penggunaan aras-tutur (unda-usuk) yang cukup memadai. Aras-tutur adalah ragam yang merupakan ciri khas bahasa Bali, dan kemampuan penggunaan aras-tutur dibahas secara rinci berikut ini.
b.      Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Sesuai dengan Aras-Tutur
Menurut statistik (1997), penduduk Bali saat ini berjumlah 2.906.582 jiwa, yang terdiri atas laki-laki 1.446.822 dan perempuan 1.459.760. Sekitar 10% dari seluruh penduduk saat ini adalah dari kalangan Triwangsa dan selebihnya dari kalangan kebanyakan (sudra). Masyarakat Bali terdiri atas dua kelompok masyarakat: (1) kelompok non-Triwangsa menduduki jumlah banyak sehingga sering disebut pula sebagai kalangan kebanyakan; dan (2) kelompok Triwangsa terdiri atas Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Tingkatan-tingkatan masyarakat Bali seperti ini memunculkan aras-tutur bahasa Bali, seperti bentuk hormat dan lepas hormat (Bagus, 1976:109; Tinggen, 1995).
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SD di Bali, baik di desa maupun di kota belum memiliki kemampuan penggunaan aras-tutur yang cukup memadai. Salah satu faktor penyebab tingkat kemampuan penggunaan aras-tutur yang belum memadai adalah karena rumit (‘sulit’) penggunaannya, dan siswa SD belum mampu untuk memahaminya; dengan berbahasa Indonesia tampaknya lebih mudah dan netral tanpa harus mengetahui pelibat dalam suatu peristiwa komunikasi berasal dari kelompok yang mana. Di samping itu, tampaknya sejauh ini belum tersedia materi yang khusus terkait dengan pengajaran aras tutur bahasa Bali.
Secara umum, siswa SD di desa dari kelas III sampai dengan kelas VI belum menguasai penggunaan aras-tutur dengan cukup baik. Berdasarkan pengamatan pada saat pelaksanaan tes (pengisian instrumen) yang dilakukan terhadap anak SD kelas I—VI, khususnya pada sekolah pedesaan, para siswa tersebut sangat lambat di dalam menjawab semua pertanyaan yang berbahasa Bali, apabila dibandingkan dengan siswa SD di kota. Apabila kemampuan siswa SD yang berasal dari kalangan Triwangsa dibandingkan dengan mereka dari Sudra tampak jelas bahwa siswa SD dari Triwangsa jauh lebih mampu menggunakan aras-tutur daripada mereka dari kalangan non-Triwangsa. Anak-anak dari Triwangsa (khususnya Brahmana) selalu berkomunikasi dengan nenek/kakek (apabila mereka adalah pendeta Hindu) menggunakan bahasa Bali bentuk hormat. Di Bali, jarang ditemukan seorang pendeta mau berkomunikasi dengan lawan tuturnya dengan bahasa lain, kecuali bahasa Bali.
Pada siswa SD di pedesaan dapat dipahami dengan jelas bahwa kemampuan menggunakan aras-tutur semakin mantap setelah siswa SD berada di kelas IV ke atas. Siswa kelas IV dan V yang menguasai aras-tutur dalam kategori lanjut adalah 75% untuk kelas IV dan 87,5% pada kelas V. Setelah mereka di kelas VI, penguasaan aras-tutur pada kategori lanjut menjadi 93,7%. Dari 75% siswa kelas IV yang memiliki kemampuan dalam kategori lanjut 50% adalah wanita dan selebihnya 25% adalah laki-laki. Demikian juga halnya untuk siswa kelas V: 47% wanita dan 40% laki-laki, dan pada kelas VI: 50% wanita dan 43,7% laki-laki.
Secara umum wanita dianggap selalu lebih rendah (subordinate) daripada pria. Menurut Smith (1992:59), wanita memiliki sifat lemah lembut, tidak langsung, dan kurang memiliki kekuasaan. Hal ini sudah mulai tampak jelas pada siswa SD, baik di desa maupun di kota, sehingga penelitian ini mendukung pendapat Smith bahwa wanita Bali memiliki status sosial lebih rendah daripada pria. Hal ini berimplikasi terhadap penggunaan bahasa Bali siswa SD wanita; mereka berbahasa Bali bentuk hormat lebih sering dan lebih terampil daripada laki-laki. Ini mungkin dikarenakan wanita memiliki sifat halus, modest, pendiam (reticence), sopan. Sifat seperti ini jarang ditemukan pada pria. Sifat yang dimiliki oleh wanita tercermin melalui gaya atau tingkah laku berbahasa yang selalu tampak sopan dan formal sehingga bahasa Bali wanita lebih baik daripada pria. Untuk siswa SD kelas IV, wanita memiliki kemampuan penguasan aras-tutur 37,5%, sedangkan prianya 18,7%. Di samping itu, siswa wanita cenderung menggunakan kalimat kompleks pada ketiga ranah pemakaian bahasa. Temuan ini mendukung sifat formal yang dimiliki wanita. Bahasa formal lebih lengkap, utuh, sesuai dengan kaidah penggunaannya.
Kenyataan ini sudah disadari para guru mereka, dan bahkan mereka mengalami kesulitan dalam mengajar bahasa Bali. Kesulitan itu dirasakan makin bertambah berat karena belum tersedianya materi pengajaran aras-tutur bahasa Bali yang sesuai sebagai materi pelajaran untuk siswa SD di Bali. Walaupun Tinggen (1995) telah menulis Sor Singgih Bahasa Bali, buku tersebut diperuntukan bagi siswa SLTP dan SLTA. Di samping itu, guru bahasa Bali tidak memiliki kualifikasi dalam bidang studi yang diajarkan. Semua guru bahasa Bali di SD adalah guru agama (kualifikasi/latar belakang pendidikannya adalah agama Hindu), namun mereka diminta untuk mengajarkan bahasa Bali.
















BAB III
PENUTUP
3. SIMPULAN
Beberapa simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Kemampuan berbahasa Bali siswa SD di Provinsi Bali yang terdiri atas kemampuan berbahasa lisan, unda-usuk, dan bahasa tulis adalah sebagai berikut:
a.       Kemampuan merekam dalam berbahasa lisan sangat bervariasi, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Siswa SD di pedesaan memiliki kemampuan berbahasa  lisan lebih baik daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di desa lebih intensif daripada di kota;
b.      Kemampuan menggunakan unda-usuk siswa SD belum memadai. Menurut mereka, penggunaan unda-usuk adalah rumit (’sulit’), serta belum tersedianya materi yang baik untuk mengajarkan unda-usuk bahasa Bali di SD; dan
c.       Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin untuk siswa SD kelas I adalah nihil, kelas II dan III pemula, kelas IV menengah, serta untuk kelas V dan VI lanjut. Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan dengan huruf Bali sangat rendah sebab sampai dengan kelas VI mereka belum menguasai dengan baik Pasang Sastra Aksara Bali (tata cara penulisan huruf Bali). Menurut pengakuan guru, mereka hanya menggunakan buku acuan yang sifatnya masih umum, dan belum berisikan aturan yang pasti tentang tata cara penulisan huruf Bali.




DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali. 1975. Kurikulum Sekolah Dasar 1975 Garis-Garis Besar Program Pengajaran Bidang Studi Bahasa Bali Untuk Kelas III, IV, V, VI. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. 1994. Lampiran II Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali Nomor 22/I 19 C/Kep/I.94 Tanggal 17 Januari 1994, Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Dasar, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata Pelajaran: Bahasa Daerah Bali. Denpasar:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Bali. Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1983 Tatabahasa Bali. Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I Bali.
Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1995. Kusumasari 1, 4, 5. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Jackson County, NC
    Information, maps, photos, contact details 군산 출장안마 & phone number of Harrah's 충청북도 출장안마 Cherokee Casino & Hotel 수원 출장안마 in Jackson County, Address: 1 거제 출장안마 Riverboat Drive, 경주 출장샵 Cherokee, NC

    BalasHapus