BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Bahasa daerah Bali atau
bahasa Bali adalah bahasa ibu bagi kebanyakan Masyarakat Bali di Bali.
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 dinyatakan
bahwa bahasa yang dipelihara baik-baik oleh masyarakatnya akan dipelihara dan
dihormati oleh Negara.
Uraian di atas
memberikan angin segar kepada masyarakat Bali yang ingin melestarikan bahasa
Bali. Masyarakat merupakan lembaga pelestarian nilai-nilai tertentu yang
menjadi sumber nilai bagi warganya. Bagi masyarakat Bali, bahasa Bali dan
budaya Bali ibarat saudara kembar siam yang tak mudah dilepaspisahkan. Bahasa
Bali yang juga merupakan bahasa ibu adalah pemberi warna dan wujud jati diri
sejak seseorang dilahirkan. Dalam banyak hal warna kedaerahannya bias dilihat
dari bahasanya. Bahasa daerah bukan hanya wahana untuk menelusuri sejarah
wilayah pakai suatu bahasa tetapi bahasa itu sendiri menjadi juru bahasa semua
masa lalu (Fishman, 1973). Mudah dipahami kalau masyarakat Bali mencintai dan
ingin melestarikan bahasanya karena kekayaan dalam bahasa Bali itu dapat
digunakan untuk menelusuri budaya Bali.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimanakah Bahasa Bali sebagai Simbol Identitas Manusia
Bali?
b. Bagaimanakah
Dinamika Pemakaian Bahasa Bali Masa
Kini?
c. Bagaimanakah
Fungsi Bahasa Bali?
1.3
TUJUAN
a. Untuk
mengetahui Bahasa Bali sebagai Simbol
Identitas Manusia Bali
b. Untuk
mengetahui Dinamika Pemakaian Bahasa
Bali Masa Kini
c. Untuk
mengetahui Fungsi Bahasa Bali
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 BAHASA BALI SEBAGAI SIMBOL IDENTITAS MANUSIA BALI
Pentingnya bahasa sebagai identitas manusia, tidak bisa dilepaskan
dari adanya pengakuan manusia terhadap pemakaian bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Untuk menjalankan tugas kemanusiaan, manusia hanya
punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa
yang ada di benak mereka. Sesuatu yang sudah dirasakan sama dan serupa
dengannya, belum tentu terasa serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan.
Hanya dengan bahasa, manusia dapat membuat sesuatu terasa nyata dan terungkap.
Sering manusia lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada
pengetahuan dan pengalamannya. Padahal semua itu masih mentah dan belum nyata,
bila tidak dinyatakan dengan bahasa.
Di antara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling
rumit, halus dan berkembang. Kini manusia telah sepakat bersama, dalam
kesalingtergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara
yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir,
secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf
mereka, sehingga bahasa disebut sebagai sistem kesepakatan (Bloomfield 1933).
Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta
tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang
setelah dipelajari, ada dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa
(langue) yang abstrak itu merupakan pemilikan (property) bersama dan ada dalam
kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan secara nyata dalam
bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik
variasi bentuk maupun nuansa makna dalam konteks penuturan (Sassusre 1996).
Secara ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa
memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks.
Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara
khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Namun demikian, walaupun
terdapat perbedaan adakalanya terdapat suatu kemiripan, dan hal ini sulit
ditentukan secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara
persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus
diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat
bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu
deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan
secera berbeda. Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang
kita lakukan untuk orang lain, sebuah permainan dari simbol verbal yang
didasarkan dengan rasa indera kita (pencitraan). Folley (1997: 26) menegaskan
"A simbol is a sign in which the relationship between its form and
meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or
contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan
memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian
makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik
simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol
yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat
yang lain dianggap tidak memiliki makna apa apa atau hampa makna.
Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara
pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi
tentang realitas. Pandangan-pandangan ini merajut pada pemikiran bahwa dengan
melukiskan bahasa sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia,
maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau
fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai
penjelmaan dari pada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan
sesempurna dari kebudayaan.
Masyarakat yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas
dengan bingkai sentimen primordial (agama, etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa
sebagai identitas atau jati diri telah membangun nilai-nilai, norma, dan
simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan
kohesivitas sosial. Bagi masyarakat, identitas adalah "harga diri"
dan "senjata" untuk menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol
bahasa dan budaya. Nilai, norma dan simbol-simbol ekspresif yang terkandung
dalam identitas tertentu memberikan penguatan bagi tindakan-tindakan di masa
lalu, menjelaskan tindakan masa sekarang dan pedoman untuk menyeleksi
pilihan-pilihan masa depan.
Dari
semua kajian diatas dapatlah dikatakan bahwa bahasa itu dipakai sebagai simbol
identitas suatu masyarakat. Pada saat ini identitas daerah dalam hal ini bahasa
Bali dioperasionalkan ke dalam bentuk penyebarluasan, guna mendapat pengakuan
dari masyarakatnya. Dalam otonomi daerah ini bahasa Bali memiliki posisi yang
sangat strategis. Sebagai simbol identitas, bahasa Bali dapat dimanfaatkan
untuk mengekspresikan segala bentuk ide oleh manusia Bali yang terkait dengan
pembangunan wilayahnya. Hal itu tidak menimbulkan masalah besar, karena radio,
TV dan surat kabar lokal dapat digunakan sebagai media untuk memperkenalkan dan
menyebarluaskan simbol identitas ini pada masyarakatnya, karena bahasa Bali
masih tergolong kelompok bahasa besar di Indonesia. Tidak demikian halnya
jikalau bahasa Bali dikategorikan sebagai kelompok bahasa minoritas.
2.2 DINAMIKA PEMAKAIAN BAHASA BALI MASA KINI.
Perkembangan pamakaian bahasa Bali sangat ditentukan oleh dinamika
sosial masyarakatnya. Bahasa sering dikatakan identik dengan dinamika sosial
masyarakat, de Saussure (1996; 361) menyatakan bahwa "Di antara etnis dan
langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cendrung menciptakan
adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada
langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas
tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup
menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Bisa juga dikatakan bahwa bahasa
sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika
masyarakat, maka bahasa Bali yang digunakan pada masa masa tertentu akan
memiliki karakter yang sarat dengan perkembangan masyarakat pada saat itu.
a.
Fungsi Bahasa Bali
Semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem
budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya
dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem
sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah
menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (Kaplan & Manners, 2000:
77-78). Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh Malinowski dan Brown (dalam
Kuper, 1996; 40). Bahasa Bali selain mempunyai fungsi utama untuk
mengexpresikan ide yang terkait dengan budaya Bali juga sekaligus menjadi
identitas manusia Bali. Apabila Bahasa Bali sebagai unsur dari sistem budaya
pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya, maka akan terbayangkan adanya
kegoncangan sistem sosial-budaya.
b.
Kondisi Pemakaian Bahasa
Bali Saat ini.
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa Bali masih tetap digunakan
sebagai alat komunikasi bagi penuturnya. Pemakaian bahasa Bali di berbagai
ranah masih nampak terpelihara dengan baik. Ranah menurut Fisman (1972) adalah
kotelasi antara pelibat tutur, topik yang dibicarakan dalam tuturan tersebut,
dan situasi yang mencakup tempat dan waktu percakapan itu terjadi. Dia juga
mengasumsikan bahwa makin banyak ranah yang dapat diciptakan oleh penutur, maka
akan makin banyak celah dan kesempatan bagi penutur menggunakan bahasa itu.
Bahasa Bali pada saat ini masih dipergunakan oleh sebagian besar
orang Bali dalam berkomunikasi di dalam keluarga, tetangga, adat, agama,
pendidikan, dan bahkan media. Menurut beberapa hasil penelitian tentang
pemakaian bahasa Bali, 95 persen penutur masih memilih bahasa Bali di dalam
ranah keluarga apabila mereka berkomunikasi sesama anggota keluarga (Suteja 2006).
Pemakaian bahasa Bali dalam ranah ketetanggaan nampak jelas, karena pemakaiaan
bahasa Bali bagi mereka merupakan salah satu identitas kebersamaan bagi warga.
Dalam ranah adat (rapat desa, banjar, subak, dan lain-lain) penutur masih
sangat konsisten memakai bahasa Bali sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide.
Demikian juga dalam ranah agama, menurut Duija (2006) bahasa Bali masih sangat
kental dipakai untuk pelestarian pustaka suci yang mengandung filsafat
kerohanian, mabebasan (Nyastra), dharma wacana, dharma tula, dharma gita, saa,
dan lain-lain. Bahkan di bidang pendidikan, Peraturan menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi telah memberikan peluang bagi
bahasa Bali untuk dimasukan sebagai mata ajar muatan lokal di tigkat SD dari
kelas IV, V, VI; di tingkat SMP di kelas VII, VIII, dan IX, dan di SMA/SMK
diajarkan di kelas X, XI, XII pada semester I dan II dengan alokasi waktu 2 jam
pembelajaran untuk semua tingkat (Tantra 2006).
Pemakaian bahasa Bali di bidang media pada saat ini mendapatkan
porsi yang cukup menggembirakan. Pada media cetak misalnya Bali Post sudah
begitu antusiasnya mengembangkan kolom mingguan dengan Bali Ortinya yang banyak
memuat opini, puisi, cerita pendek, dan lain-lainnya. Pada media elektronik
juga dipelopori oleh kelompok media Bali Post dalam siaran bahasa Balinya di
Bali TV yang berjudul Orti Bali, telah setiap hari menayangkan pemakaian bahasa
Bali secara terus menerus. Banyak lagi program berbahasa Bali yang ditayangkan
pada saat-saat tertentu seperti kesenian lawak, arja, babondresan, wayang dan
lain-lainnya pada media ini. Demikian juga TVRI telah banyak menuangkan program
berbahasa Bali seperti berita berbahasa Bali, kesenian Bali, dan pendidikan
bahasa Bali. Berkembang pesatnya lagu pop Bali mengakibatkan pemakaian bahasa
Bali lebih hidup, sehingga semua program di radio dan TV lokal saling berlomba
maraup pendengar dan pemirsa. Akibat dari program ini banyak melahirkan karya
berbahasa Bali yang baik yang dapat menarik perhatian generasi muda khususnya
terhadap pemakaian bahasa Bali.
c.
Tantangan Bahasa Bali
Pembentukan identitas manusia Bali melalui bahasa pada saat ini
menghadapi tantangan yang cukup berat. Tantangan ini terdiri dari tantangan
internal dan eksternal. Secara internal menurut Suandi (2006) dan Ardika (2006)
adanya demokratisasi pemakaian bahasa merupakan suatu tantangan yang paling
utama pada masa sekarang. Bahasa Bali secara sosiolinguistik pemakaiannya
dibedakan menjadi anggah ungguhing basa (Kasar, Biasa, dan Halus), situasi ini
menuntut penutur secara tradisional untuk memahami struktur sosial masyarakat
Bali. Padahal dalam perkembangan masyarakat sekarang orang Bali telah memiliki
wawasan lebih luas untuk menempatkan manusia berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah.
Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita
yang mengatakan bahwa bahasa Bali miskin, bahkan kita dituduh belum mampu
menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin
ilmu, teknologi, dan seni. Asumsi ini bertumpu pada pendirian apa yang tidak
dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Bali.
Secara eksternal tantangan yang dihadapi bahasa Bali adalah
gencarnya pemakaian bahasa Indonesia, dan Bahasa asing lainya, sehingga tidak
dapat lagi dielakkan bahwa manusia Bali sudah menjadi dwibahasawan dan
masyarakatnya sudah menjadi masyarakat multi bahasa. Hal ini berdampak secara
nyata bahwa sekali penutur itu berdwibahasa, maka dikala itu pula penutur akan
sudah mulai bergeser penggunaan bahasanya, karena mereka memiliki pilihan
pemakaian bahasa lebih dari satu (Boloomfield 1933; Haugen 1972; Chaer 1995).
Situasi ini diperumit lagi dengan adanya sosialisasi pemakaian bahasa Indonesia
yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus
dilestarikan. Demikian juga semakin diperparah degan berkembangnya pemakaian
bahasa asing di Bali terkait dengan berkembangnya industri pariwisata. Sehingga
pada suatu saat, apabila seseorang yang akan berbicara dengan seorang pendeta
akan menggunakan bahasa campuran seperti Maaf ratu Peranda,
titiang nenten polih tangkil rahinane benjang, riantukan titiang nenten polih off
ring kantor titiange. Menurut pengamatan yang dilakukan secara berkala,
sejak bahasa Bali dinyatakan sebagai bahasa daerah yang kehidupannya dilindungi
oleh undang-undang, perkembangan bahasa Bali sangat dinamis, tetapi tidak
menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Misalnya adanya kejadian
pencampuran penggunaan bahasa antara bahasa Bali, dengan bahasa Indonesia dan
bahasa asing lainnya seperti contoh diatas. Pada saat bersamaan penutur bahasa
Bali sudah mencapai kedewasaan berbahasa.
Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa
tidak terkait dengan masalah daerahisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka
memakai bahasa Indonesia pada ranah adat saat ini. Menurut mereka pemakaian
bahasa Indonesia oleh sebagian masyarakat dipandang lebih berprestise dibandingkan
dengan bahasa Bali dan mencerminkan kesetaraan. Disamping itu, menurut Suandi
(2006) sikap penutur bahasa Bali terhadap bahasa Bali umumnya negatif. Ini
berarti bahwa tingkat kesetiaan, kebanggaan, dan kesadaran pada norma bahasa
sudah semakin kurang. Contoh ini banyak kita temui disaat ada pertemuan atau di
acara radio atau televisi. Banyak orang dalam pertemuan itu tidak malu-malu
menyatakan secara langsung tidak memakai bahasa Bali karena mereka kurang
menguasai bahasa Bali.
Aspek lain yang cenderung menjadi tantangan bahasa Bali adalah
pemilihan bahasa antargenerasi yang menunjukkan pergeseran dengan menerapkan
strategi mobilitas. Kajian fungsi bahasa Bali yang meliputi baik fungsi
komunikatif dan fungsi simbolik, memperlihatkan bahwa bahasa ini dalam tahap
pergeseran. Pergeseran dapat berarti perkembangan atau kemunduran. Grimes
(2000) menyatakan bahwa bahasa yang mengalami kemunduran karena sebagian
penutur terutama anak-anak yang cenderung tidak lagi menggunakan bahasa itu
(pemerolehan bahasa pertama), dan orang tua cendrung tidak menggunakan strategi
yang benar dalam mentransmisikan bahasanya kepada anak-anak mereka.
Saat ini
tantangan terhadap bahasa Bali, baik internal maupun eksternal, merupakan hal
yang mengancam eksistensi bahasa Bali. Konsekuensi ancaman tersebut tidak hanya
sebatas mengancam eksistensi bahasa Bali saja, namun menjadi sangat penting
karena berkaitan dengan bahasa sebagai simbol identitas manusia Bali. Jika
dihayati dari prosesnya, awalnya masyarakat merubah gaya bahasanya lalu
mempengaruhi tingkah lakunya sehingga akan mengalami kegamangan norma dan
kepribadian berkaitan dengan identitas sosial. Kemudian kegamangan kepribadian
tersebut membuat kesadaran bersatu meluntur. Tantangan akan keajegan Bali
semakin tinggi. Fenomena konflik antar desa antar banjar dan antar pemuda
merupakan salah satu jawaban yang dapat menyingkap kurang mengakarnya peran
bahasa Bali sebagai perekat sosial.
2.3 LANGKAH KE DEPAN PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BALI
Selama ini usaha untuk menjadikan bahasa Bali sebagai suatu
kebanggaan identitas sudah dilakukan. Hal ini terlihat dari mulai adanya
perhatian Pemerintah Daerah terhadap pemertahanan bahasa Bali. Pemerintah
melalui lembaga yang dimilikinya seperti Lembaga Pelestarian dan Pengembangan
Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dan Balai Bahasa sudah berusaha untuk
menciptakan ranah-ranah baru untuk pemakaian bahasa Bali, misalnya adanya
penyelenggaraan lomba berbahasa Bali, menulis Bali, menulis cerita berbahasa
Bali yang diselenggarakan oleh lembaga itu secara berkesinambungan. Universitas
dan lembaga-lembaga pendidikan sudah dengan terencana melalui program muatan
lokal kurikulum telah pula mengembangkan kegiatan-kegiatan penunjang untuk
kebertahan bahasa Bali. Demikian pula lembaga-labaga lainnya seperti media baik
media cetak maupun media elektronik telah pula menancapkan programnya untuk
keajegan bahasa Bali. Namun usaha tersebut masih dalam tataran struktural dan
politis, belum merambah “akar rumput” yang merupakan basis kultural dan mengakar.
Kesadaran dari pemerintah, media, dan masyarakat terhadap konsep bahasa sebagai
simbol identitas masih rendah. Usaha para budayawan dan ahli bahasa belum
didukung penuh oleh kebijakan strategis dan merakyat dari pemerintah. Ditambah
lagi peran media yang semakin luas tidak diimbangi oleh usaha sosialisasi
bahasa Bali yang baik dan benar membuat masyarakat kini lebih merespon bahasa
lain seperti bahasa Indonesia maupun bahasa asing serta semakin jauh dari
kaidah berbahasa Bali yang benar. Bukannya manusia Bali harus tertutup dari
pengaruh nasional dan asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi,
pemakaian bahasa setiap hari, dan perilaku inilah yang menjadi pokok masalah
terjadinya kegamangan identitas.
Dinamika antara potensi dan tantangan yang dialami bahasa Bali saat
ini merupakan suatu fakta yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi
bahasa Bali sebagai simbol identitas manusia Bali di masa depan. Dalam konteks
bahasa Bali, banyak orang Bali mencemaskan perkembangan bahasa Bali, malah ada
yang memprediksi bahasa Bali akan mati atau punah. Akan tetapi banyak pula yang
memprediksi bahwa peran bahasa Bali akan semakin berkembang, baik di daerah
Bali sendiri maupun di daerah lain yang telah menjadi pusat berkembangnya
kebudayaan Bali di luar daerah Bali. Jumlah penutur bahasa Bali dalam waktu
dekat ini akan terus meningkat. Hal ini akan meningkatkan prestise di
kalangan para penuturnya yang kemudian akan mempengaruhi sikapnya untuk lebih
positif terhadap bahasa Bali. Terlebih lagi bahasa Bali sekarang tidak hanya
dipakai di daerah Bali saja, melainkan di daerah lain yang pada awalnya adalah
daerah transmigrasi, pemakaian bahasa Bali sudah demikian meluas, seperti di
Sumatra dan di Sulawesi.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menentukan srtategi yang
tepat untuk pemberdayaan dan pengembangan bahasa Bali itu. Adapun
langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah dan masyarakat harus menentukan kebijakan tegas dalam
perencanaan bahasa untuk dapat menyandingkan bahasa Bali dengan bahasa
Indonesia dan bahasa asing lainnya berkembang saling berdampingan dan menyentuh
secara langsung terhadap pemakaian bahasa Bali.
b. Masyarakat harus menciptakan ranah pemakaian bahasa yang lebih
luas, karena semakin banyak ranah pemakaian bahasa dapat diciptakan
(pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknilogi informasi) akan semakin kecil
kesenjangan antara kebutuhan penutur untuk mengekspresikan diri dalam berbagai
aspek kehidupan.
c. Penutur bahasa Bali harus memiliki kesadaran sikap positif
terhadap bahasa Bali untuk meningkatkan kesetiaan (language loyalty)
yang ditandai dengan sikap mempertahankan kemandirian bahasa, kebanggaan (language
pride) yang mendorong menjadikan bahasa sebagai identitas pribadi atau
kelompok, sekaligus membedakannya dengan kelompok lain,, dan pemahaman pada
norma pemakaian bahasa Bali (awareness of language norm) yang mendorong
penggunaan bahasa secara cermat, benar, dan santun. Kesadaran demikian
merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku tutur dalam wujud pemakaian
bahasa (language use).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Menyimak uraian di atas dapatlah ditarik sebuah benang merah yang
berupa kesimpulan. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang
bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial. Dalam hal ini bahasa Bali
merupakan salah satu simbol indentitas telah dioperasionalkan ke dalam bentuk
penyebarluasan, guna mendapat pengakuan dari masyarakatnya. Sebagai simbol
identitas, bahasa Bali dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala bentuk
ide oleh manusia Bali yang terkait dengan pembangunan wilayahnya.
Dinamika antara potensi dan tantangan yang dialami bahasa Bali saat
ini merupakan suatu fakta yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi
bahasa Bali sebagai simbol identitas manusia Bali di masa depan. Bahasa sebagai
salah satu elemen kebudayaan memang bukan sesuatu yang bersifat statis. Karena
budaya adalah suatu fenomena yang harus senantiasa berubah dan berkembang.
Namun mempertahankan nilai-nilai dan ciri khas budaya yang positif tetaplah
suatu langkah yang bijaksana. Perkembangan dan kemajuan bahasa Bali seiring
dengan perkembangan bahasa Indonesia pada dasarnya mencerminkan perkembangan
dan kemajuan masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Ada paling tidak tiga hal yang harus dilakukan untuk pelestarian dan
pengembangan bahasa Bali ke depan, perencanaan yang matang, perluasan ranah
pemakaian bahasa dan peningkatan kesadaran akan sikap positif terhadap bahasa Bali.
Kemunduran dalam pemakaian bahasa Bali berarti melemahkan identitas manusia
Bali, dan kematian bahasa Bali berarti punahnya karakter sosial budaya manusia
Bali.
Daftar Pustaka
Duija,
Nengah I. 2006. Agama Hindu Sebagai Bentuk Pemertahanan, Aksara,
Bahasa,
dan Sastra Bali dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Bali. Makalah yang
disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.
Jendra, I
Wayan. 2006. Sikap Penutur Bahasa Bali dan Pemakaian Bahasa Bali.
Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.
Suandi,
Nengah I. 2006. Potensi Siaran Berbahasa Bali Melalui Media Elektronik
dalam
Upaya Pemertahanan Bhasa Bali. Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa
Bali VI di Denpasar.
Tantra, Dewa Komang. 2006. Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam
Pendidikan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar