Senin, 25 November 2013

BAHASA BALI SEBAGAI SIMBOL IDENTITAS MANUSIA BALI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG

Bahasa daerah Bali atau bahasa Bali adalah bahasa ibu bagi kebanyakan Masyarakat Bali di Bali. Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 dinyatakan bahwa bahasa yang dipelihara baik-baik oleh masyarakatnya akan dipelihara dan dihormati oleh Negara.
Uraian di atas memberikan angin segar kepada masyarakat Bali yang ingin melestarikan bahasa Bali. Masyarakat merupakan lembaga pelestarian nilai-nilai tertentu yang menjadi sumber nilai bagi warganya. Bagi masyarakat Bali, bahasa Bali dan budaya Bali ibarat saudara kembar siam yang tak mudah dilepaspisahkan. Bahasa Bali yang juga merupakan bahasa ibu adalah pemberi warna dan wujud jati diri sejak seseorang dilahirkan. Dalam banyak hal warna kedaerahannya bias dilihat dari bahasanya. Bahasa daerah bukan hanya wahana untuk menelusuri sejarah wilayah pakai suatu bahasa tetapi bahasa itu sendiri menjadi juru bahasa semua masa lalu (Fishman, 1973). Mudah dipahami kalau masyarakat Bali mencintai dan ingin melestarikan bahasanya karena kekayaan dalam bahasa Bali itu dapat digunakan untuk menelusuri budaya Bali.

1.2              RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimanakah Bahasa Bali sebagai Simbol Identitas Manusia Bali?
b.      Bagaimanakah Dinamika Pemakaian Bahasa Bali Masa Kini?
c.       Bagaimanakah Fungsi Bahasa Bali?

1.3              TUJUAN
a.       Untuk mengetahui Bahasa Bali sebagai Simbol Identitas Manusia Bali
b.      Untuk mengetahui Dinamika Pemakaian Bahasa Bali Masa Kini
c.       Untuk mengetahui Fungsi Bahasa Bali


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 BAHASA BALI SEBAGAI SIMBOL IDENTITAS MANUSIA BALI
Pentingnya bahasa sebagai identitas manusia, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengakuan manusia terhadap pemakaian bahasa dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Untuk menjalankan tugas kemanusiaan, manusia hanya punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ada di benak mereka. Sesuatu yang sudah dirasakan sama dan serupa dengannya, belum tentu terasa serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan. Hanya dengan bahasa, manusia dapat membuat sesuatu terasa nyata dan terungkap. Sering manusia lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan pengalamannya. Padahal semua itu masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa.
Di antara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus dan berkembang. Kini manusia telah sepakat bersama, dalam kesalingtergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka, sehingga bahasa disebut sebagai sistem kesepakatan (Bloomfield 1933).
Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa (langue) yang abstrak itu merupakan pemilikan (property) bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik variasi bentuk maupun nuansa makna dalam konteks penuturan (Sassusre 1996).
Secara ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan adakalanya terdapat suatu kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secera berbeda. Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain, sebuah permainan dari simbol verbal yang didasarkan dengan rasa indera kita (pencitraan). Folley (1997: 26) menegaskan "A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa apa atau hampa makna.
Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas. Pandangan-pandangan ini merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan dari pada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan.
Masyarakat yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentimen primordial (agama, etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa sebagai identitas atau jati diri telah membangun nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial. Bagi masyarakat, identitas adalah "harga diri" dan "senjata" untuk menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol bahasa dan budaya. Nilai, norma dan simbol-simbol ekspresif yang terkandung dalam identitas tertentu memberikan penguatan bagi tindakan-tindakan di masa lalu, menjelaskan tindakan masa sekarang dan pedoman untuk menyeleksi pilihan-pilihan masa depan.
Dari semua kajian diatas dapatlah dikatakan bahwa bahasa itu dipakai sebagai simbol identitas suatu masyarakat. Pada saat ini identitas daerah dalam hal ini bahasa Bali dioperasionalkan ke dalam bentuk penyebarluasan, guna mendapat pengakuan dari masyarakatnya. Dalam otonomi daerah ini bahasa Bali memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagai simbol identitas, bahasa Bali dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala bentuk ide oleh manusia Bali yang terkait dengan pembangunan wilayahnya. Hal itu tidak menimbulkan masalah besar, karena radio, TV dan surat kabar lokal dapat digunakan sebagai media untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan simbol identitas ini pada masyarakatnya, karena bahasa Bali masih tergolong kelompok bahasa besar di Indonesia. Tidak demikian halnya jikalau bahasa Bali dikategorikan sebagai kelompok bahasa minoritas.

2.2 DINAMIKA PEMAKAIAN BAHASA BALI MASA KINI.
Perkembangan pamakaian bahasa Bali sangat ditentukan oleh dinamika sosial masyarakatnya. Bahasa sering dikatakan identik dengan dinamika sosial masyarakat, de Saussure (1996; 361) menyatakan bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cendrung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat, maka bahasa Bali yang digunakan pada masa masa tertentu akan memiliki karakter yang sarat dengan perkembangan masyarakat pada saat itu.

a.      Fungsi Bahasa Bali
Semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (Kaplan & Manners, 2000: 77-78). Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh Malinowski dan Brown (dalam Kuper, 1996; 40). Bahasa Bali selain mempunyai fungsi utama untuk mengexpresikan ide yang terkait dengan budaya Bali juga sekaligus menjadi identitas manusia Bali. Apabila Bahasa Bali sebagai unsur dari sistem budaya pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya, maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya.

b.      Kondisi Pemakaian Bahasa Bali Saat ini.
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa Bali masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi bagi penuturnya. Pemakaian bahasa Bali di berbagai ranah masih nampak terpelihara dengan baik. Ranah menurut Fisman (1972) adalah kotelasi antara pelibat tutur, topik yang dibicarakan dalam tuturan tersebut, dan situasi yang mencakup tempat dan waktu percakapan itu terjadi. Dia juga mengasumsikan bahwa makin banyak ranah yang dapat diciptakan oleh penutur, maka akan makin banyak celah dan kesempatan bagi penutur menggunakan bahasa itu.
Bahasa Bali pada saat ini masih dipergunakan oleh sebagian besar orang Bali dalam berkomunikasi di dalam keluarga, tetangga, adat, agama, pendidikan, dan bahkan media. Menurut beberapa hasil penelitian tentang pemakaian bahasa Bali, 95 persen penutur masih memilih bahasa Bali di dalam ranah keluarga apabila mereka berkomunikasi sesama anggota keluarga (Suteja 2006). Pemakaian bahasa Bali dalam ranah ketetanggaan nampak jelas, karena pemakaiaan bahasa Bali bagi mereka merupakan salah satu identitas kebersamaan bagi warga. Dalam ranah adat (rapat desa, banjar, subak, dan lain-lain) penutur masih sangat konsisten memakai bahasa Bali sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide. Demikian juga dalam ranah agama, menurut Duija (2006) bahasa Bali masih sangat kental dipakai untuk pelestarian pustaka suci yang mengandung filsafat kerohanian, mabebasan (Nyastra), dharma wacana, dharma tula, dharma gita, saa, dan lain-lain. Bahkan di bidang pendidikan, Peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi telah memberikan peluang bagi bahasa Bali untuk dimasukan sebagai mata ajar muatan lokal di tigkat SD dari kelas IV, V, VI; di tingkat SMP di kelas VII, VIII, dan IX, dan di SMA/SMK diajarkan di kelas X, XI, XII pada semester I dan II dengan alokasi waktu 2 jam pembelajaran untuk semua tingkat (Tantra 2006).
Pemakaian bahasa Bali di bidang media pada saat ini mendapatkan porsi yang cukup menggembirakan. Pada media cetak misalnya Bali Post sudah begitu antusiasnya mengembangkan kolom mingguan dengan Bali Ortinya yang banyak memuat opini, puisi, cerita pendek, dan lain-lainnya. Pada media elektronik juga dipelopori oleh kelompok media Bali Post dalam siaran bahasa Balinya di Bali TV yang berjudul Orti Bali, telah setiap hari menayangkan pemakaian bahasa Bali secara terus menerus. Banyak lagi program berbahasa Bali yang ditayangkan pada saat-saat tertentu seperti kesenian lawak, arja, babondresan, wayang dan lain-lainnya pada media ini. Demikian juga TVRI telah banyak menuangkan program berbahasa Bali seperti berita berbahasa Bali, kesenian Bali, dan pendidikan bahasa Bali. Berkembang pesatnya lagu pop Bali mengakibatkan pemakaian bahasa Bali lebih hidup, sehingga semua program di radio dan TV lokal saling berlomba maraup pendengar dan pemirsa. Akibat dari program ini banyak melahirkan karya berbahasa Bali yang baik yang dapat menarik perhatian generasi muda khususnya terhadap pemakaian bahasa Bali.

c.       Tantangan Bahasa Bali
Pembentukan identitas manusia Bali melalui bahasa pada saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Tantangan ini terdiri dari tantangan internal dan eksternal. Secara internal menurut Suandi (2006) dan Ardika (2006) adanya demokratisasi pemakaian bahasa merupakan suatu tantangan yang paling utama pada masa sekarang. Bahasa Bali secara sosiolinguistik pemakaiannya dibedakan menjadi anggah ungguhing basa (Kasar, Biasa, dan Halus), situasi ini menuntut penutur secara tradisional untuk memahami struktur sosial masyarakat Bali. Padahal dalam perkembangan masyarakat sekarang orang Bali telah memiliki wawasan lebih luas untuk menempatkan manusia berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa bahasa Bali miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Asumsi ini bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Bali.
Secara eksternal tantangan yang dihadapi bahasa Bali adalah gencarnya pemakaian bahasa Indonesia, dan Bahasa asing lainya, sehingga tidak dapat lagi dielakkan bahwa manusia Bali sudah menjadi dwibahasawan dan masyarakatnya sudah menjadi masyarakat multi bahasa. Hal ini berdampak secara nyata bahwa sekali penutur itu berdwibahasa, maka dikala itu pula penutur akan sudah mulai bergeser penggunaan bahasanya, karena mereka memiliki pilihan pemakaian bahasa lebih dari satu (Boloomfield 1933; Haugen 1972; Chaer 1995). Situasi ini diperumit lagi dengan adanya sosialisasi pemakaian bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Demikian juga semakin diperparah degan berkembangnya pemakaian bahasa asing di Bali terkait dengan berkembangnya industri pariwisata. Sehingga pada suatu saat, apabila seseorang yang akan berbicara dengan seorang pendeta akan menggunakan bahasa campuran seperti Maaf ratu Peranda, titiang nenten polih tangkil rahinane benjang, riantukan titiang nenten polih off ring kantor titiange. Menurut pengamatan yang dilakukan secara berkala, sejak bahasa Bali dinyatakan sebagai bahasa daerah yang kehidupannya dilindungi oleh undang-undang, perkembangan bahasa Bali sangat dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Misalnya adanya kejadian pencampuran penggunaan bahasa antara bahasa Bali, dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya seperti contoh diatas. Pada saat bersamaan penutur bahasa Bali sudah mencapai kedewasaan berbahasa.
Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah daerahisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa Indonesia pada ranah adat saat ini. Menurut mereka pemakaian bahasa Indonesia oleh sebagian masyarakat dipandang lebih berprestise dibandingkan dengan bahasa Bali dan mencerminkan kesetaraan. Disamping itu, menurut Suandi (2006) sikap penutur bahasa Bali terhadap bahasa Bali umumnya negatif. Ini berarti bahwa tingkat kesetiaan, kebanggaan, dan kesadaran pada norma bahasa sudah semakin kurang. Contoh ini banyak kita temui disaat ada pertemuan atau di acara radio atau televisi. Banyak orang dalam pertemuan itu tidak malu-malu menyatakan secara langsung tidak memakai bahasa Bali karena mereka kurang menguasai bahasa Bali.
Aspek lain yang cenderung menjadi tantangan bahasa Bali adalah pemilihan bahasa antargenerasi yang menunjukkan pergeseran dengan menerapkan strategi mobilitas. Kajian fungsi bahasa Bali yang meliputi baik fungsi komunikatif dan fungsi simbolik, memperlihatkan bahwa bahasa ini dalam tahap pergeseran. Pergeseran dapat berarti perkembangan atau kemunduran. Grimes (2000) menyatakan bahwa bahasa yang mengalami kemunduran karena sebagian penutur terutama anak-anak yang cenderung tidak lagi menggunakan bahasa itu (pemerolehan bahasa pertama), dan orang tua cendrung tidak menggunakan strategi yang benar dalam mentransmisikan bahasanya kepada anak-anak mereka.
Saat ini tantangan terhadap bahasa Bali, baik internal maupun eksternal, merupakan hal yang mengancam eksistensi bahasa Bali. Konsekuensi ancaman tersebut tidak hanya sebatas mengancam eksistensi bahasa Bali saja, namun menjadi sangat penting karena berkaitan dengan bahasa sebagai simbol identitas manusia Bali. Jika dihayati dari prosesnya, awalnya masyarakat merubah gaya bahasanya lalu mempengaruhi tingkah lakunya sehingga akan mengalami kegamangan norma dan kepribadian berkaitan dengan identitas sosial. Kemudian kegamangan kepribadian tersebut membuat kesadaran bersatu meluntur. Tantangan akan keajegan Bali semakin tinggi. Fenomena konflik antar desa antar banjar dan antar pemuda merupakan salah satu jawaban yang dapat menyingkap kurang mengakarnya peran bahasa Bali sebagai perekat sosial.

2.3 LANGKAH KE DEPAN PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BALI
Selama ini usaha untuk menjadikan bahasa Bali sebagai suatu kebanggaan identitas sudah dilakukan. Hal ini terlihat dari mulai adanya perhatian Pemerintah Daerah terhadap pemertahanan bahasa Bali. Pemerintah melalui lembaga yang dimilikinya seperti Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dan Balai Bahasa sudah berusaha untuk menciptakan ranah-ranah baru untuk pemakaian bahasa Bali, misalnya adanya penyelenggaraan lomba berbahasa Bali, menulis Bali, menulis cerita berbahasa Bali yang diselenggarakan oleh lembaga itu secara berkesinambungan. Universitas dan lembaga-lembaga pendidikan sudah dengan terencana melalui program muatan lokal kurikulum telah pula mengembangkan kegiatan-kegiatan penunjang untuk kebertahan bahasa Bali. Demikian pula lembaga-labaga lainnya seperti media baik media cetak maupun media elektronik telah pula menancapkan programnya untuk keajegan bahasa Bali. Namun usaha tersebut masih dalam tataran struktural dan politis, belum merambah “akar rumput” yang merupakan basis kultural dan mengakar. Kesadaran dari pemerintah, media, dan masyarakat terhadap konsep bahasa sebagai simbol identitas masih rendah. Usaha para budayawan dan ahli bahasa belum didukung penuh oleh kebijakan strategis dan merakyat dari pemerintah. Ditambah lagi peran media yang semakin luas tidak diimbangi oleh usaha sosialisasi bahasa Bali yang baik dan benar membuat masyarakat kini lebih merespon bahasa lain seperti bahasa Indonesia maupun bahasa asing serta semakin jauh dari kaidah berbahasa Bali yang benar. Bukannya manusia Bali harus tertutup dari pengaruh nasional dan asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi, pemakaian bahasa setiap hari, dan perilaku inilah yang menjadi pokok masalah terjadinya kegamangan identitas.
Dinamika antara potensi dan tantangan yang dialami bahasa Bali saat ini merupakan suatu fakta yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi bahasa Bali sebagai simbol identitas manusia Bali di masa depan. Dalam konteks bahasa Bali, banyak orang Bali mencemaskan perkembangan bahasa Bali, malah ada yang memprediksi bahasa Bali akan mati atau punah. Akan tetapi banyak pula yang memprediksi bahwa peran bahasa Bali akan semakin berkembang, baik di daerah Bali sendiri maupun di daerah lain yang telah menjadi pusat berkembangnya kebudayaan Bali di luar daerah Bali. Jumlah penutur bahasa Bali dalam waktu dekat ini akan terus meningkat. Hal ini akan meningkatkan prestise di kalangan para penuturnya yang kemudian akan mempengaruhi sikapnya untuk lebih positif terhadap bahasa Bali. Terlebih lagi bahasa Bali sekarang tidak hanya dipakai di daerah Bali saja, melainkan di daerah lain yang pada awalnya adalah daerah transmigrasi, pemakaian bahasa Bali sudah demikian meluas, seperti di Sumatra dan di Sulawesi.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menentukan srtategi yang tepat untuk pemberdayaan dan pengembangan bahasa Bali itu. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah dan masyarakat harus menentukan kebijakan tegas dalam perencanaan bahasa untuk dapat menyandingkan bahasa Bali dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya berkembang saling berdampingan dan menyentuh secara langsung terhadap pemakaian bahasa Bali.
b. Masyarakat harus menciptakan ranah pemakaian bahasa yang lebih luas, karena semakin banyak ranah pemakaian bahasa dapat diciptakan (pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknilogi informasi) akan semakin kecil kesenjangan antara kebutuhan penutur untuk mengekspresikan diri dalam berbagai aspek kehidupan.
c. Penutur bahasa Bali harus memiliki kesadaran sikap positif terhadap bahasa Bali untuk meningkatkan kesetiaan (language loyalty) yang ditandai dengan sikap mempertahankan kemandirian bahasa, kebanggaan (language pride) yang mendorong menjadikan bahasa sebagai identitas pribadi atau kelompok, sekaligus membedakannya dengan kelompok lain,, dan pemahaman pada norma pemakaian bahasa Bali (awareness of language norm) yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, benar, dan santun. Kesadaran demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku tutur dalam wujud pemakaian bahasa (language use).




















BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Menyimak uraian di atas dapatlah ditarik sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial. Dalam hal ini bahasa Bali merupakan salah satu simbol indentitas telah dioperasionalkan ke dalam bentuk penyebarluasan, guna mendapat pengakuan dari masyarakatnya. Sebagai simbol identitas, bahasa Bali dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala bentuk ide oleh manusia Bali yang terkait dengan pembangunan wilayahnya.
Dinamika antara potensi dan tantangan yang dialami bahasa Bali saat ini merupakan suatu fakta yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi bahasa Bali sebagai simbol identitas manusia Bali di masa depan. Bahasa sebagai salah satu elemen kebudayaan memang bukan sesuatu yang bersifat statis. Karena budaya adalah suatu fenomena yang harus senantiasa berubah dan berkembang. Namun mempertahankan nilai-nilai dan ciri khas budaya yang positif tetaplah suatu langkah yang bijaksana. Perkembangan dan kemajuan bahasa Bali seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia pada dasarnya mencerminkan perkembangan dan kemajuan masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Ada paling tidak tiga hal yang harus dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan bahasa Bali ke depan, perencanaan yang matang, perluasan ranah pemakaian bahasa dan peningkatan kesadaran akan sikap positif terhadap bahasa Bali. Kemunduran dalam pemakaian bahasa Bali berarti melemahkan identitas manusia Bali, dan kematian bahasa Bali berarti punahnya karakter sosial budaya manusia Bali.



Daftar Pustaka


Duija, Nengah I. 2006. Agama Hindu Sebagai Bentuk Pemertahanan, Aksara,
Bahasa, dan Sastra Bali dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Bali. Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.
Jendra, I Wayan. 2006. Sikap Penutur Bahasa Bali dan Pemakaian Bahasa Bali.
Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.
Suandi, Nengah I. 2006. Potensi Siaran Berbahasa Bali Melalui Media Elektronik
dalam Upaya Pemertahanan Bhasa Bali. Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.
Tantra, Dewa Komang. 2006. Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam Pendidikan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar